iklan

0
Semoga kita kita tidak menjadi agen penyebar berita hoax, berita dusta dan fitnah. Yang berperan serta dalam munculnya keresahan dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat

Ilustrasi
BANYAK orang yang memandang sepele dusta-dusta ‘kecil’ yang entah secara sadar atau tidak sadar sering diucapkan dan dilakukan dalam keseharian.

Mereka menganggap bahwa meskipun dusta, namun dusta-dusta kecil itu berdosa dan tidak akan dihisab oleh Allah Subhanahu Wata’ala pada hari kiamat kelak. Umat Islam sering meremehkan dosa-dosa yang dianggap kecil padahal disisi Allah Subhanahu Wata’ala itu adalah perkara yang fatal.

وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللَّـهِ عَظِيمٌ

“Kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (Qs. An-Nur : 15)

Selain memperingatkan umatnya dari dusta yang besar, Rasulullah juga memperingatkan umatnya dari perkataan sepele, tapi sejatinya merupakan kedustaan. Diantara perkara-perkara sepele yang termasuk dusta adalah;

Pertama, perkataan orang tua terhadap anak kecilnya, “nanti ayah kasih…” atau “nanti aku beri…” dan seterusnya, padahal sebenarnya ia tidak serius ingin memberi, namun sekedar membujuk agar anak mau menuruti perintahnya. Perkataan seperti ini termasuk satu bentuk kedustaan. Dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Amir ia berkata;

“Suatu hari ibu memanggilku dan pada saat itu Rasulullah sedang duduk di rumah kami. Ibu berkata kepadaku, “Hai nak, sini aku beri kamu!” Lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bertanya kepada ibuku, “Apa yang hendak engkau berikan padanya?” Ibu menjawab, “Kurma wahai Rasulullah” Rasulullah bersabda;

مَّا إِنَّكَ لَوْ لمَ ْتُعْطِهِ شَيْئاً كُتِبَتْ عَليْكِ كِذْبَةً

“Sungguh, jika engkau tidak memberinya sesuatu maka engkau pasti dituliskan padamu sebuah kedustaan.” (HR. Abu Dawud)

Kenyataan sering kita jumpai para orang tua ketika membujuk putra-putrinya untuk mau tidur siang atau untuk belajar diringi dengan iming-iming hadiah. Namun ketika putra atau putrinya lupa tentang hadiah yang telah dijanjikan, orang tua pun tidak memenuhi janjinya. Yang demikian dalam kacamata syariah termasuk kedustaan yang dilarang oleh Rasulullah Alaihi Wassallam. Secara tidak langsung orang tua menanamkan nilai-nilai negatif pada diri anak, yaitu nilai kedustaan. Maka jangan menyalahkan anak seandainya ia tumbuh menjadi anak yang gemar berdusta karena ada ‘model pendusta’ yang ia saksikan setiap hari.

Kedua, melucu (bercanda) dengan membuat cerita-cerita bohong agar membuat orang lain tertawa.

Meskipun dimaksudkan sebagai gurauan tetap saja berdusta tidak diperkenankan dalam agama. Nabi Muhammad, meskipun beliau adalah seorang utusan Allah bukan berarti beliau selalu tampil serius di hadapan umatnya.

Dalam banyak hadits diterangkan bahwa Rasulullah Alaihi Wassallam ternyata kadang-kadang juga bercanda di hadapan para sahabat sehingga membuat mereka tertawa, namun canda Rasulullah ternyata tidak lepas dari kebenaran dan kejujuran.

Dalam hadits riwayat Ahmad dari Sahabat Anas bin Malik diterangkan bahwa seorang laki-laki mengnjungi Rasulullah Alaihi Wassallam. Beliau  membawanya ikut berkendara lalu Rasulullah berkata “Kami akan memboncengkanmu diatas anak onta!” Laki-laki itu heran dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang bisa aku lakuan dengan anak onta? Lalu Rasulullah Alaihi Wassallam bersabda, “Bukankah onta dewasa juga anaknya onta?” Sahabat itu pun tersenyum dan sadar kalau Rasulullah bercanda.

Imam Tirmidzi juga meriwayatkan bahwa seorang nenek-nenek datang kepada Rasulullah Alaihi Wassallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah berdoalah kepada Allah agar Dia memasukkan aku ke Sorga” Rasulullah pun berkata kepadanya, “Wahai Ibu Si fulan, apakah engkau tidak tahu kalau di Sorga itu tidak ada nenek-nenek?” Nenek itu pun berpaling sambil menangis tanpa pamit kepada Rasulullah Alaihi Wassallam. Lalu Rasulullah berkata kepada para sahabat, “Katakan padanya bahwa kelak ia akan kembali menjadi gadis perawan di Sorga. Karena Allah telah berfirman: “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung. dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan.” (QS. Arrahman : 35-36)

Dalam kondisi tertentu, Rasulullah ternyata juga bercanda. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk mencairkan suasana dan membuat hubungan beliau sebagai pemimpin dengan sahabat  tetap baik. Namun candaan Rasulullah tidak pernah berisi dusta. Berkata dusta ketika bercanda merupakan perbuatan dosa yang dikatakan oleh Rasulullah bisa mencelakakan seseorang. Beliau Shallallohu ‘alaih wasallam bersabda;

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

“Celakalah orang yang berbicara kemudian berbohong agar orang lain mentertawakannya, celakalah dia, celakalah dia.”

Ketiga, Menceritakan semua apa yang didengar atau yang dibaca termasuk perbuatan dusta.

Sebagai seorang muslim, setiap informasi yang dia dapat seharusnya; diverifikasi dan diteliti terlebih dahulu apakah informasi ini memang benar adanya. Setelah dipastikan informasi yang didapat adalah benar maka, hendaknya dilihat dulu isi beritanya, pakah layak untuk dikonsumsi atau dibaca. Kalau dinilai layak, berikutnya, Apa perlu di-share atau disebar? Belum berhenti sampai disini, tapi harus pula dipertimbangkan berbagai dampak kalau informasi itu disebar atau di-share. Apakah membawa kebaikan ataukah malah mendatangkan keburukan.

Sebab kalau tidak, bisa-bisa kita menjadi agen penyebar berita hoax, berita dusta dan fitnah. Dan tidak berperan serta dalam munculnya keresahan dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Maka cukuplah kita renungkan peringatan Rasulullah Alaihi Wassallam

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang itu berdosa ketika ia menceritakan setiap apa yang dia dengar.” (HR. Muslim).



Sumber: hidayatullah.com



Posting Komentar Blogger

 
Top