iklan

0
Seorang Abdullah bin Umar tidak mau kehilangan kesempatan usia muda. Digunakannya waktu dan energi mudanya untuk membela agama Allah


PERNAHKAH melintas bahkan mungkin berkelebat dalam benak kita, mengapa heroisme para sahabat dalam ber-Islam sedemikian hebat, sampai hampir-hampir sebagian besar kaum Muslimin di abad ini meyakini diri mereka tak akan mampu dan bukan tindakan yang tepat meneladani keberanian para sahabat dalam menjalankan dan membela Islam.

Mari kita kembali teliti sebagian dari para sahabat Nabi yang mulia. Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu misalnya, pada usia 15 tahun telah bergabung dala pasukan perang Khandaq dan peperangan sesudahnya bersama Rasulullah. Sepeninggal Rasulullah, Abdullah bin Umar tergabung dalam perang Yarmuk, Qadisiyah, ikut dalam penaklukkan Mesir dan ikut dalam perang melawan orang-orang Persia.

Lantas, apa yang kemudian disampaikan oleh Ibn Umar. “Kemenangan dalam jihad berkaitan erat dengan perbaikan jiwa.” Oleh karena itu Abdullah bin Umar langsung membacakan ayat Al-Qur’an kepada seseorang yang menyatakan dirinya ingin menjual dirinya kepada Allah, ikut berjihad dan gugur di jalan-Nya.

ٱلتَّـٰٓٮِٕبُونَٱلۡعَـٰبِدُونَٱلۡحَـٰمِدُونَٱلسَّـٰٓٮِٕحُونَٱلرَّٲڪِعُونَٱلسَّـٰجِدُونَٱلۡأَمِرُونَبِٱلۡمَعۡرُوفِوَٱلنَّاهُونَعَنِٱلۡمُنڪَرِوَٱلۡحَـٰفِظُون

لِحُدُودِٱللَّهِ‌ۗوَبَشِّرِٱلۡمُؤۡمِنِينَ

“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, beribadah, memuji (Allah), mengembara (demi ilmu dan agama), rukuk, sujud, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah [9]: 112).

Kemudian, mari kita lihat bagaimana sikap seorang Tsabit bin Qais yang mewakili kaum Anshar dalam melihat nilai, akhir dari niat dan tujuannya membela Rasulullah. Tsabit bin Qais adalah seorang yang pandai berorasi, sehingga dia termasuk orator kepercayaan orang-orang Anshar.

Saat Nabi Muhammad datang ke Madinah Al-Munawwarah, Tsabit bin Qais berkhutbah. Dengan suara lantang ia berkata, “Kami akan melindungimu sebagaimana kami melindungi jiwa dan anak-anak kami. Lalu apa yang kami dapatkan?’ Rasulullah menjawab, ‘Surga.’ Mewakili kaum Anshar, Tsabit bin Qais berkata, “Kami rela.”

Hidup memang tidak bisa lepas dari transaski. Tetapi, orang-orang beriman tidak mungkin mau bertransaksi dengan makhluk yang selain pasti rugi lahir-bathin juga berujung pada kesengsaraan. Dua gambaran di atas adalah bukti bahwa orang beriman itu bertransaksinya dengan Allah Ta’ala, dan itulah sebaik-baik visi dalam kehidupan dunia ini.

إِنَّٱللَّهَٱشۡتَرَىٰمِنَٱلۡمُؤۡمِنِينَأَنفُسَهُمۡوَأَمۡوَٲلَهُمبِأَنَّلَهُمُٱلۡجَنَّةَ‌ۚ

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. At-Taubáh [9]: 111).

Terhadap ayat tersebut, Ibn Katsir dalam tafsirnya menulis, “Allah memberitahu, bahwa Dia akan memberikan ganti atas diri dan harta benda hamba-hamba-Nya yang beriman, karena mereka telah rela mengorbankanya di jalan Allah, digantinya dengan Surga. Yang demikian itu merupakan karunia, kemuliaan dan kebaikan-Nya.

Hasan Al-Bashri dan Qatadah berkata, “Sesungguhnya Allah telah membeli mereka. Demi Allah, harga mereka menjadi sangat mahal.”

Inilah keadaan yang menjadi visi setiap Muslim dan Mukmin. Mereka sama sekali tidak tertarik dengan janji-janji manusia, apalagi yang secara nyata jahil yang karena itu memusuhi agama Allah. Pantas jika kemudian Ibn Al-Jauzi dalam bukunya Shaidul Khatir mendorong diri kita untuk benar-benar memiliki visi yang jauh.

Visi itu harus ditandai dengan beberapa hal. Pertama, adanya kecermatan diri dalam melihat kesudahan dari segala perkara dan pilihan tindakan yang dipilih. Misalnya, seorang Muslim ingin bahagia dunia-akhirat, menjalankan praktik riba, membiasakan dusta, adalah jalan yang pasti akan dijauhinya. Sebab, jika tidak, kebahagiaan dari siapa yang didambakannya dan diyakini pasti bisa diraihnya?

Maka seorang Abdullah bin Umar tidak mau kehilangan kesempatan usia muda. Digunakannya waktu dan energi mudanya untuk membela agama Allah. Dirinya tidak mau terpedaya dengna masa muda, sehingga terus-menerus larut dalam maksiat, dan menunda-nunda taubat. Jadi, tidak benar ungkapan bahwa masjid untuk 60 tahun ke atas. Sebab, menjauhkan diri dari jihad pada usia produktif adalah ciri diri belum memiliki visi yang semestinya.

Bahkan seorang Muslim yang visioner akan benar-benar meresapi apa yang disampaikan oleh Syaiban Ar-Ra’i kepada Sufyan. “Wahai Sufyan! Anggaplah bahwa nikmat yang Allah halangi darimu adalah pemberian dari-Nya untukmu, karena Dia tidak menghalangimu karena kikir, namun Dia menghalangimu karena kasih-Nya.”

Dan, terhadap ucapan tersebut, Ibn Al-Jauzi menyampaikan, “Ternyata aku perhatikan itu adalah ucapan orang yang telah mengatahui hakikat perkara.”

Dari sini teranglah bahwa mengapa heroisme keimanan para sahabat sangat luar biasa. Tidak lain karena mereka memiliki visi yang jauh. Mereka melakukan transaksi, tetapi hanya dengna Allah. Diserahkan jiwa raganya untuk Allah, sehingga dengan itulah mereka mengharapkan keridhoan Allah, sebaik-baik dan paling terjaminnya transaksi dalam kehidupan fana ini.

Jika ada Muslim, Mukmin yang orientasi hidupnya masih mengalami penyimpangan, boleh jadi visinya melenceng dan karena itu ia tidak lagi memperhatikan jiwanya. Rasionya mungkin terus diasah, tetapi tajamnya bukan pada kebaikan dirinya sendiri, apalagi orang lain. Tetapi malah menyembelih diri sendiri.

Ia hanya akan menjadi seorang yang menyesal dan seperti yang diungkapkan oleh sahabat Jallaudin Rumi dari Tabriz, “Jika Ilmu tak membuatmu telanjang dari hawa nafsu. Sungguh kedunguan lebih baik bagimu.” Untuk itu, mari menjadi Muslim yang visioner, yang bahagia bukan karena limpahan benda-benda, pujan dan tepuk tangan manusia. Tetapi karena lelah berjuang, berkorban untuk ikut serta menegakkan agama Allah. Wallahu a’lam. Hidayatullah.com / Izzamedia.com

Posting Komentar Blogger

 
Top