iklan

0

by Tini Febriani
(Tatar Kidul Pangandaran)

Menunggu hujan reda sepulang kerja.

Sedikit mendapat keberanian untuk menuliskan apa yang selama ini menjadi hal yang ingin saya bagi kepada rekan-rekan akhwat yang sedang menanti takdir (baca: jodoh) ataupun yang telah mengarungi kehidupan bersama pendamping hidup yang telah Allah siapkan.

Pasca lulus dari kampus, setiap akhwat lajang tentu memiliki harapan yang sama, ideal: kerja -> nikah. Harapan yang tentu boleh dimiliki setiap orang yang beriman, siapapun itu. Apalah daya, terkadang takdir tidak selalu berjalan mulus sesuai harapan. Beberapa catatan ini saya kumpulkan selama empat tahun pasca lulus dari kampus, semoga menjadi bahan muhasabah kita semua.

1. Takdir Tak Selalu Berurusan dengan Kuantitas
    
Banyak sekali ucapan destruktif yang datang dari kalangan kita sendiri ketika ada seorang akhwat yang mengutarakan niatnya untuk mendapatkan bantuan dalam mencari pendamping hidup: “Sekarang ikhwan jumlahnya sedikit, sedangkan akhwat jumlahnya banyak”. Ucapan yang jelas tidak solutif, melemahkan motivasi tentunya. Sedangkan ghiroh untuk menikah secara syar’i dan manhaji selalu ditekankan. Apabila murobbi/ah, ustadz/ah berat dalam menolong mad’unya, maka kepada siapa akhwat tersebut meminta bantuan selain kepada Allah semata?
    
Pengalaman saya hidup di lingkungan kerja dan jamaah yang jumlah pria lajangnya lebih banyak, tetapi apabila takdir belum berpihak, jumlah tidak berarti apa-apa. Toh masih pada melajang lah ikhwan dan akhwat dalam komunitas yang nyaris tak berbatas itu. Subhanallah, takdir memang mutlak milik Allah yang sangat misterius.

2. Takdir Tak Melulu Masalah Fisik
    
Berlomba-lomba manusia memperbagus penampilan pada masa lajang demi “menarik” jodoh, tak ada yang salah selama masih sesuai dengan koridor syari’at. Hanya saja, kembali bercermin pada lingkungan tempat saya tinggal, begitu banyak wanita cantik dan laki-laki tampan yang usianya lebih dari kepala 3 masih juga “jomblo”. Di lain sisi, kerabat dan kenalan saya yang mohon maaf secara fisik memiliki “keterbatasan”, Allah datangkan jodohnya dengan mudah.

3. Takdir tidak Melihat Harta
    
Beberapa orang tua dari rekan yang tergolong kelas ekonomi menengah menepis harapan putrinya yang berharap segera bertemu pendamping hidup dengan ucapan: “siapa laki-laki yang mau menikah dengan orang yang tak mampu seperti kita?”
    
Alangkah tidak adilnya jika jodoh datang karena harta yang dimiliki. Pengalaman kembali menunjukkan bahwa orang yang gemilang dalam karirnya tak berbanding lurus dengan datangnya jodoh.

3. Takdir bukan Seperti Antrian
    
Sebelum lulus, adik binaan pernah bertanya: “Teteh, bagaimana kalau di antara kita ada yang nikah duluan sebelum teteh?” Pertanyaan yang cukup membuat saya geli. Saya hanya tersenyum waktu itu dan berkata: “takdir itu tidak seperti senioritas, dia yang lahir duluan maka dia yang nikah duluan.” Tidak seperti antrian di bank, dia yang datang duluan, dia yang dilayani duluan.

Alhamdulillah banyak binaan yang sudah menikah (sebagian tidak memberitahu, mungkin menjaga perasaan saya yang belum nikah sampai saat ini). Kebahagiaan yang tak terkira, tidak terlintas sedikitpun kesedihan saat mendapatkan undangan dari orang lain atau saat menjadi saksi pernikahan adik kembaran bulan lalu.
    
Berjuta syukur pada-Mu Ya Rabb yang telah mengajarkan berbagai hal dalam hidup ini. Bimbing kami selalu di jalan-Mu.

Posting Komentar Blogger

 
Top