iklan


Diam itu, dalam banyak cerita, bisa menjadi obat yang mujarab. Minimal, ia bisa membuat luka tak semakin menganga.

Sebut saja misalnya, dalam riak-riak gelombang suami-istri. Jika sang istri ngambek, lantas suami tak bisa menahan ocehannya, bisa jadi konflik akan meruncing. Dan, pecahlah perang dunia ketiga. Dan memang, dalam banyak pelajaran ilmu psiokologi, ngambeknya pasangan kita, hanyalah sinyal bahwa ia ingin semakin diperhatikan. Cukuplah duduk manis, mendengarkan curhatannya, sembari menyediakan teh hangat dan bahu yang lebar agar dia bisa menyandarkan lelahnya.

Atau, misalnya. Ketika orang tua kita tengah tidak puas dengan bakti kita yang memang ala kadarnya. Maka, sediakan saja telinga ikhlas untuk mendengarkan segenap keluh kesahnya. Sulit, mungkin. Tapi itu hanya di awal. Jika sudah terbiasa, ia akan gampang, nikmat dan nyaman. Dari telinga ikhlas itu pula, kelak, kita bisa membaca apa yang dimau oleh orang tua, atau orang-orang terdekat dan orang-orang yang kita cintai.

Dalam bersahabat pun demikian. Ini sederhana. Karena hidup, jika tak ada konflik di dalamnya, maka jalannya akan datar saja. Dan datar ini, kurang nikmat rasanya. Maka konflik, sejatinya adalah sarana. Agar damai terasa lebih nikmat, agar diri lebih bijak. Tentu, konflik kecil tersebut adalah riak kecil yang diselesaikan dengan kepala dingin, hati jernih dan semangat untuk saling memperbaiki diri. Bukan semangat mencari kesalahan atau meruncingkan beda.

Dalam konteks ini, jika misalnya diri merasa bersalah. Atau misalnya dalam posisi yang benar sekalipun. Namun, kawan kita itu terus menerus menerocos bak wartawan peliput aksi Densus88, maka diam adalah solusi paling bijak. Dari bicaranya, kita bisa berkaca. Mungkin, memang kita yang salah tapi tidak merasa. Mungkin, kawan kita itu sedang mendapat masalah dan luapan katanya adalah sebentuk pelampiasan. Jika itu yang terjadi, maka berdoalah. Semoga dengan lontaran kata dan kalimatnya, bisa sedikit menanangkan hatinya. Dari kicauannya juga bisa kita jadikan sebagai pelajaran. Bahwa kita, memang manusia yang tak luput dari alpa. Sehingga, apa yang dia sampaikan, bisa kita jadikan bahan untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik dari hari-hari sebelumnya.

Begitupun seterusnya. Diam, dalam banyak kasus, adalah obat yang paling muajarab. Minimal, dengan mengeja diam, dengan mengaktifkan telinga ikhlas, konflik yang ada tak menjadi semakin meruncing. 

Oh ya, berikan saja hadiah kepada pasangan, orang tua, kawan atau siapapun yang sedang marah kepadamu. Insya Allah, hadiah itu akan melunakkan hatinya, dan kelak, cinta diantara kalian akan semakin mesra dan tumbuh memesona. 

Terakhir, mungkin kita perlu ingat. Bisa jadi, disadari atau tidak, ngambeknya orang-orang yang kita cintai disebabkan oleh kita yang salah ucap, salah tindak maupun salah respon. Sehingga, benarlah apa yang diwasiatkan oleh sang Nabi Teladan, "Katakan yang baik, atau diamlah." Dan, nasehat itu, adalah salah satu tanda benarnya iman seseorang.  (Pirman /Bersamadakwah/Izzamedia) 
 
Top