iklan

0
Seorang ulama Syi'ah, al-Kulaini mengatakan dalam kitabnya, bahwa semua umat Islam selain Syi'ah adalah anak pelacur,1) Ulama Syi'ah lainnya, Mirza Muhammad Taqi berkata, Selain orang Syi'ah akan masuk neraka selama-Iamanya, Meskipun semua malaikat, semua nabi, semua syuhada dan semua shiddiq menolongnya, tetap tidak bisa keluar dari neraka.2)

Lebih jauh, al-Kulaini berkata, bahwa orang yang menganggap Sayidina Abu Bakr dan Sayidina Umar itu muslim, tidak akan ditengok Allah pada hari kiamat dan dapatkan siksa yang pedih (alias masuk neraka).3) Padahal mayoritas umat Islam di dunia meyakini kesalehan para sahabat. Ini tidak lain karena mayoritas umat Islam tidak meyakini rukun Imamah. Menurut jumhur ulama Syi'ah imamiah, percaya kepada Imamah adalah salah satu pokok agama, jika seseorang tidak mengimani Imamah/Wilayah Ali dan keturunannya maka dia kafir kepada Allah. al-Kulaini menyatakan, "Bermaksiat kepada Ali adalah kufur dan mempercayai orang lain lebih utama dan berhak dari beliau dalam imamah adalah syirik"4) Al-Majlisi menulis dalam bukunya, "Sekte imamiyah bersepakat bahwa sungguh orang yang mengingkari imamah salah satu dari imam kami dan menolak kewajiban dari Allah untuk mentaatinya adalah kafir yang pasti kekal di dalam neraka."5)

Berkaitan dengan hukum seorang muslim yang diklasifikasikan 'Mukhalif (yang berbeda pandangan dengan Syi’ah)6) Yusuf al-Bahrani, ulama Syi’ah muktabar menyatakan bahwa "Seorang mukhalif itu kafir, tiada baginya keislaman sedikitpun sebagaimana yang kami tahqiq dalam kitab al-Syihab al- Tsaqib7) Sayyid Abdullah Syubbar berkata, "Ketahuilah bahwa banyak ulama Imamiyah menghukumi kafir bagi ahlul khilaf/mukhalif, seperti Sayyid al-Murtadha, di dunia dan akhirat, Pendapat yang paling masyhur adalah mereka kafir dan kekal di neraka di akhirat kelak, namun berlaku aturan Islam atas mereka dalam hal menjaga darah dan hartanya di dunia.8)

Baqir al-Majlisi berkata, "Kaum mukhalif bukanlah ahli surga, bukan pula ahli manzilah antara surga dan neraka (A'rof), tetapi mereka kekal di neraka. Jika al-Qaim datang, ia lebih dulu membunuhi mereka sebelum orang-orang kafir..9) Al-Mamqani berkata, "Inti dari riwayat-riwayat khabar itu adalah berlakunya hukum kafir dan musyrik di akhirat kelak bagi siapa saja yang bukan penganut itsna 'asyari.10)

Dalam publikasi Syi'ah Indonesia, "Yang tidak mengenal Imam mati jahiliah, barangsiapa yang mati dan tidak ada imam baginya, atau tidak mengenal imam zamannya, ia mati jahiliah. Mati jahiliah berarti mati tidak dalam keadaan Islam. Dengan demikian, orang yang tidak mempunyai imam atau tidak mengenal imam zamannya, ia dipisahkan dari kaum muslimin yang beriman. Walhasil imamah bagian dari aqidah juga.11)

Pandangan Ulama

Keyakinan Syi'ah telah bertentangan dengan hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang menyatakan bahwa 2/3 umat Islam akan masuk surga. Dalam al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah diyatakan:

Pada suatu hari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda kepada para sahabat yang menjadi teman duduknya, "Apakah kalian bahagia jika kalian menjadi 1/3 penduduk surga? Para sahabat menjawab, "Allah dan rasul-Nya yang mengetahui. Nabi kembali bersabda, apakah kalian bahagia jika menjadi separuh penduduk surga? Para sahabat menjawab: Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Nabi Menjawab: "sesungguhnya umatku di hari kiamat menjadi 2/3 penduduk surga. Di hari kiamat ada 120 shaf manusia dan umatku mengisi 80 shaf-nya.12)

Mengkafirkan umat Islam adalah persoalan serius yang langsung dikecam oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam sabdanya,

"Jika seseorang mengkafirkan saudaranya, maka sesungguhnya kalimat itu kembali kepada salah satu dari keduanya" (HR. Muslim no.111, juga yang senada oleh al-Bukhari no.5883)

"Tidaklan seorang melemparkan tuduhan kepada yang lain dengan kefasikan, dan tidak pula melemparkan tuduhan kepada yang lain dengan kekafiran, melainkan hal itu akan kembali kepadanya apabila yang dituduh ternyata tidak demikian" (HR. al-Bukhari, dalam Shahih Bukhari no.582)

Yang benar dalam masalah 'mati dalam keadaan jahiliah' adalah baiat dan ketaatan kepada imam atau khalifah yang dipilih berdasarkan syura umat Islam. Seperti riwayat kitab Shahihain, adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam "Siapa yang melihat suatu yang ia tidak senangi dari pemimpinnya (amir) maka bersabarlah sebab tidak seorangpun yang memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal lalu ia mati kecuali mati dalam keadaan jahiliah" (HR. al-Bukhari, no.6742). Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Siapa yang melepas tangan dari ketaatan, ia akan menghadap Allah di hari kiamat tidak memiliki hujjah, dan siapa yang mati dan tiada baiat di lehernya maka ia mati dalam keadaan jahiliah" (HR. Muslim, no.4899). Juga telah dimaklumi bahwa mayoritas umat Islam di dunia ini tidak mengenal 12 imam Syi'ah karena tidak termasuk masalah pokok agama Islam. Dengan demikian, Syi'ah telah menyimpang karena "Mengkafirkan sesama muslim hanya karena bukan kelompoknya," sebagaimana poin nomor 10 dari 10 kriteria pedoman identifikasi aliran sesat yang difatwakan MUI tahun 2007.

Penjelasan Ulama tentang Hadits Ghadir Khum

Kaum Syi’ah mewajibkan beriman kepada imamah Ali bin Abi Thalib berdasarkan hadits yang populer di kalangan Syi'ah yang disebut hadits Ghadir Khum. Bunyi hadits tersebut adalah, "Man Kuntu Mawlahu fa 'Aliyyun Mawlahu" (Siapa yang menjadikan aku (nabi) sebagai kekasihnya, maka inilah Ali juga menjadi kekasihnya), maka perlu dijelaskan hakikatnya secara terang benderang sebagai berikut.

Tidak ditemukan satupun ayat Al-Quran yang sarih (tegas) dan hadits-hadits yang sahih dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam perihal imamah Ali sebagai rukun iman atau pokok agama (ushuluddin) yang menyebabkan kekafiran orang Islam yang tidak mempercayainya. Untuk mengukuhkannya, Syi'ah Rafidhah banyak mengandalkan hadits Ghadir Khum yang konon isinya Nabi telah melantik Ali sebagai khalifah setelah pulang dari Haji Wada' tahun 10 H pada tanggal 18 Dzulhijah. Sejak era Daulah Buwaihi abad ke-4 H, hari itu dijadikan hari raya Syi'ah yaitu 'Idul Ghodir yang mereka anggap lebih agung dari Idul Fitri dan Idul Adha.

Keyakinan adanya pelantikan Ali di Ghadirkhum (letaknya dekat Juhfah 170 km dari kota Madinah), telah dibantah oleh seluruh ulama sahabat, tabiin dan generasi setelahnya. Peristiwa itu tidak pernah diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadits yang sahih seperti al-Bukhari dan Muslim.

Hadis Ghadir Khum dengan redaksi yang berbeda-beda diriwayatkan oleh Ahmad13), Tirrnidzi14) dan Al-Hakim.15) Menurut para ulama, teks hadits itu sebatas keutamaan Ali yang memiliki latar belakang yang khusus (sabab al-wurud)16) dan bukan pengangkatan khalifah sesudah beliau. Teks hadits itu jelasnya bukan kepemimpinan umat (al-wilayah/al-imarah)17), melainkan kasih sayang dan tolong menolong yang muncul dari dua pihak (al-walayah/al-muwalah yang darinya berasal kata 'al-waliyyu' dan 'al-mawla' sebagaimana teks hadits, ed.)18)

Jika teks hadits itu menegaskan (sharih) tentang pelantikan Ali sebagai khalifah setelah Rasulullah, pasti sudah digunakan sebagai dalil dan hujjah oleh Ali bin Abi Thalib saat Rasulullah wafat sebelum pengangkatan Abu Bakr ra sebagai khalifah, atau pada saat musyawarah enam tokoh sahabat setelah wafatnya Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab untuk menetapkan khalifah baru, dan juga telah dijadikan dalil oleh Abu Musa Al- Asy'ari ra untuk memantapkan posisi Khalifah Ali pada saat peristiwa Tahkim (arbitrase) antara Khalifah Ali dan Mu'awiyah pasca perang Shiffin. Namun tak ada satu sahabat pun, termasuk Ali yang memahaminya demikian. Sahabat adalah orang yang paling memahami maksud perkataan Rasul dan kemurnian bahasa Arab mereka tidak diragukan lagi. Pemahaman ulama sahabat yang menjadi ijma' adalah bentuk Qoth'iy dalam memahami Al-Qur'an dan hadits.

Para tokoh Ahlulbait sendiri seperti Ali bin Abi Thalib, al- Hasan bin Ali dan al- Husain bin Ali mereka berpegang teguh kepada prinsip 'Syura, dalam memilih pemimpin19) dan tak pernah menyinggung soal adanya teks wasiat penunjukan keimamahan mereka, baik dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada Ali, ataupun dari Ali kepada al-Hasan dan Al-Husain, seperti yang diuraikan panjang lebar oleh seorang tokoh Syi'ah, Ahmad AI-Katib.20)

 catatan kaki:

1. Lihat al-Raudhah min al-Kafi, vol.8, hal.227
2. Lihat Shahifah al-Abrar, vol.I, hal.342
3. Lihat al-Ushul min al-Kafi, vol.l/233
4. Lihat al-Kafi, vol.1/232
5. Lihat Bihar al-Anwar, vol.8/366, vol.23/390
6. Lihat Buku Putih Mazhab Syi’ah, hal.62 dijelaskan disana bahwa "Sikap Syi’ah terhadap yang pertama (mukhalif) adalah tetap menganggap mereka muslim dan mukmin dan tetap memiliki hak-hak sebagai seorang muslim yang harus dihormati jiwa, harta dan kehormatannya." Tetapi di kitab-kitab Syi’ah muktabar berkata lain, umumnya menganggap muslim di luar mereka adalah kafir dan kekal di neraka.
7.Lihat al-Hadaiq al-Nadhirah fi Ahkam al- 'Itrat al- 'Thahirah, voI.18/153. Ia juga mengutip mazhab al-Mufid yakni tidak boleh mensalati jenazah orang 'mukhalif , dan berkata "Kaum Mukhalif (yang berbeda pandangan) dari Ahlul Haq (yaitu Syi’ah) adalah kafir, tanpa ada khilaf di antara kami', lihat Ibid., vol.5/176
 8.Lihat Haqq al- Yaqin fi Ma'rifat Ushul al-Din, vol.2/51 0-511
 9.Lihat Bihar ai-Anwar, vol.8/361
 10.Lihat Tanqih al-Maqal, vol.1/208
 11.Pengertian Imam disitu tentu yang dimaksud adalah imam Syi'ah, karena penulisnya beraqidah Syi'ah imamiyah. Lihat Jalaluddin Rakhmat dan Emilia Renita AZ, 40 Masalah Syi’ah, (Penerbit IJABI, Oktober 2009) hal.98.
 12.Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, al-Maktabah al-Syamilah.
 13.Lihat Musnad Ahmad, vol.4/281
 14.Lihat Sunan at- Tirmidzi, vol.5/297
 15.Lihat al-Mustadrak 'ala Shahihayni, vol.3/183 lihat juga Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilat al-Ahadits as-Shahihah, vol.4/343, no.1750.
 16.Lihat HR. Bukhari, kitab Al-Maghazi, Bab Ba'tsu Ali wa Khalid ila al Yaman. No. 4350. Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebelum berangkat Haji Wada' telah mengutus Khalid bin Walid untuk berperang di negeri Yaman. Setelah menang, Khalid memberitahu Nabi tentang kemenangan itu dan tentang ghanimah (harta rampasan perang), Khalid meminta Nabi untuk mengutus seorang shahabatnya untuk mengambil seperlima bagian Nabi. Lalu diutuslah Ali untuk mengambil bagian Nabi tersebut dan Nabi menyuruhnya untuk langsung berangkat ke Makah untuk melaksanakan Haji bersama Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Setelah Ali sampai di sana dibagilah harta rampas an itu, 4/5 untuk para mujahidin yang berperang dan 1/5 lagi dibagi 5 bagian, yaitu 1/ 5 untuk Allah dan RasulNya, 1/5 untuk ahlulbait kerabat Nabi, 1/5 untuk keluarga Nabi, 1/5untuk anak yatim, 1/5 untuk fakir miskin, 1/5 lagi untuk ibnu sabil. Setelah itu Ali pergi ke Makkah dengan membawa 1/5 bagian keluarga Nabi. Apa isi 1/5bagian keluarga Nabi tadi? Isinya adalah hewan ternak, harta benda dan para tawanan baik laki-laki, perempuan, maupun anak kecil, Lalu Ali menggauli salah satu perernpuan tawanan tadi, lalu para Shahabat yang rnengetahui hal itu marah pada Ali, mereka melihat Ali keluar dari kemahnya setelah mandi. Bagaimana Ali berbuat demikian? Mengarnbil salah satu tawanan perang untuk dirinya, yang mestinya dibagi di kota Madinah dan bukannya di sini. Salah satu Shahabat yang marah adalah Buraidah ibnul Hushain yang melaporkannya pada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, tapi Nabi diam saja, Buraidah rnengulanginya untuk kedua dan ketiga kali, lalu Nabi bersabda, "Wahai Buraidah apakah kamu membenci Ali?" Buraidah pun menjawab "Ya, wahai Rasulullah", Nabi pun rnenjawab: "Wahai Buraidah janganlah kamu membencinya karena dia berhak: mendapat bagian dari harta rampasan perang lebih dari itu." Lalu Buraidah berkata "Saya tidak lagi rnernbencinya setelah rnendengar Nabi rnelarangku membenci AIi'
 17. Para sahabat memahami maksud al-Mawla atau al-Waliyy adalah cinta, solidaritas dan ketaatan. Karena itulah sebagai ungkapan penghormatan, mereka rnemanggil pemimpin Ahlulbait Ali bin Abi Thalib ra " 'Ya Mawlana' (wahai kekasih kami). Saat sekelompok Anshar, diantaranya Abu Ayyub al-Anshari ramenemui Khalifah Ali untuk menyambutnya lalu mereka ucapkan 'Assalamu 'alayka Ya Mawlana", Ali pun menolak, "Bagaimana bisa aku menjadi mawla kalian sedangkan kalian orang-orang Arab?", mereka menjawab, "Saat di Ghadirkhum, kami mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa aku adalah mawlanya, maka Ali adalah mawlanya" (lihat Fadhail as-Shahabah, vol.2/702 hadits no.967). Iadi Ali sendiri tidak pernah memahami kala mawla sebagai imamah atau kepemimpinan. Andaikan Ali menganggap panggilan tersebut sama dengan panggilan ya amirana (wahai pemimpin kami) atau ya imamana (wahai imam kami), tentu beliau tidak menyalahkan orang yang menyapanya seperti itu (lihat kitab Tsumma Abshartu Al-Haqiqah, haI.200). Al-Hasan (al-Mutsanna) bin al-Hasan bin Ali pernah ditanya, "bukankah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, 'Barangsiapa aku adalah mawlanya, maka Ali adalah mawlanya?. Al-Hasan menjawab, "Ya, akan tetapi yang dimaksud Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bukanlan imamah atau kekuasaan. Andaikan maksudnya demikian, tentulah beliau sudah mengatakannya dengan jelas kepada mereka" Abdullah putra al-Hasan al-Mutsanna mengatakan, "Tidak seorangpun di antara kami yang memiliki keistimewaan dalam urusan ini dibandingkan orang lain, dan tidak satupun dari Ahlulbait menjadi imam yang Allah wajibkan untuk ditaati" Riwayat tersebut bisa dijumpai dalam kitab-kitab Ahlussunnah seperti al-I’tiqad karya Al-Bayhaqi, haI.182-183; Syarh Ushul l'tiqad Ahlissunnah karya al-Lalika'I, vol.8/1455; Ibnu 'Asakir dalam Tarikh Dimasyq, voI.4/435, dan Basha'ir al-Mu'minin karya as-Shaffar (Syi'ah imamiyah), haI.153-156. Lihat Khawarij dan Syi'ah dalam Timbangan Ahlussunnah wal Jamaah, ha1.260-261.
 18. Lihat al-Intishar li as-Shuhbi wal Aal, hlm.329
 19.Salah satu perkataan Khalifah Ali ra yang terkenal kepada Mu'awiyah ra adalah, "Sesungguhnya Syura itu adalah hak istimewa ditangan kaum Muhajirin dan Anshar, jika mereka  bersepakat atas seorang yang mereka sebut sebagai imam, maka hal itulah yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Lihat Syarh Nahju al-Balaghah, vol.3, hal.7.
 20.Lihat Tathawwur Al-Fikr as-Siyasi as-Syi'i min Syura ila Wilayat Al-Faqih, (Beirut: Darul Jadid, 1998) haI.19-28.
Sumber: Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi'ah di Indonesia, Buku Panduan Majelis Ulama Indonesia, hal. 66-75, Penerbit FORMAS

Posting Komentar Blogger

 
Top