iklan

0

“Halaman yang menjadi atap” Begitulah sebutan bagi Masouleh, desa kuno yang bertengger di lereng gunung Talash, rangkaian pegunungan Alborz. Masouleh sendiri terletak di propinsi Gilan, 60 km dari kota Rast. Ketika kakiku menyusuri beranda sebuah rumah, pada saat yang sama tengah menjejak atap rumah penduduk lainnya, sangat unik dan menakjubkan. Pantas saja, Masouleh selalu menjadi wisata unggulan di kawasan Utara Iran, terutama pada musim panas. Balkon-balkon dihiasi aneka bunga cantik, gadis-gadis mengenakan pakaian adat menyambut kedatangan puluhan turis, seperti yang sering ditayangkan oleh televisi Iran.

Sayangnya, kunjunganku kali ini tiga bulan lebih awal dari musim turis, yaitu permulaan musim semi. Pepohonan baru saja menampakkan pucuk hijaunya, bunga-bunga masih belum merekah sempurna, tapi potret keseharian desa justru bisa terekam apa adayanya. Anak-anak bermain bola di beranda, Ibu-ibu bercengkrama di balkon-balkon rumah sambil membersihkan sayuran, para lelaki mereka sedang mengais rezeki di pasar yang berada satu kompleks dengan pemukiman.

Sebelum mengitari desa, kusempatkan untuk singgah di pasar itu. Kios-kios kerajinan berjajar, diselingi penjual roti tradisional, warung kelontongan dan pandai besi. Wajah teduh dan bersahaja bapak tua pemilik kios pandai besi itu, begitu menyejukkan. Langkahku terhenti di sebuah toko kerajinan. Tidak semua barang yang dijual di sini memang buatan tangan, produk China pun rupanya merambah sampai ke pedalaman Iran. Untungnya, masih ada kerajinan tangan yang dibuat oleh penduduk lokal, seperti lukisan karpet tradisional dan boneka rajutan. Suasana pasar yang tidak terlalu ramai, membuatku lebih leluasa memilih oleh-oleh, bahkan aku masih sempat memotret Mehdi bersama penjual kerajinan.

Tidak jauh dari pasar, kedai-kedai teh siap menjamu wisatawan yang kelelahan selepas mendaki undakan demi undakan. Kami memilih tempat duduk yang berseberangan dengan bukit. Dari tempat ini, panorama di bawah tampak lebih memikat. Kelokan jalan, mobil-mobil parkir berjajar dan rumah-rumah berundak, seakan menenggelamkan sketsa yang baru saja kulukis di bawah tadi, tentang indahnya bukit kecil dilapisi pepohonan rindang.
“Ah..! Dalam keseharian, tak jarang kita membayangkan kenikmatan yang belum menjadi milik kita. Ketika ia menghampiri, mampukah kita mensyukurinya dengan segenap jiwa?!” Hati kecilku bersuara.
Lamunanku terusik oleh kehadiran pelayan kedai yang mengantarkan teh hangat, seorang anak muda yang bekerja sendiri, meracik teh sekaligus mengantarkannya ke meja pengunjung. Selain kami, ada keluarga kecil dan sepasang turis asing di kedai ini. Sebenarnya, kami bukanlah penikmat teh, seperti kebanyakan masyarakat Iran. Tapi, berada di titik terindah sambil dibuai semilir angin pegunungan, teh lokal Gilan jadi terasa lebih nikmat.

Iklim surga di tempat ini memang diuntungkan secara geografis. Di satu sisi, Masouleh terletak di dataran tinggi, sekitar 1050 m di atas permukaan laut, namun di sisi lain posisinya berada dekat dengan pantai laut Kaspia. Perpaduan ini melahirkan iklim pegunungan dan pesisir, sejuk sekaligus lembab. Rasanya ingin duduk berlama-lama, kalau saja tidak ingat matahari sudah mulai bergeser ke sebelah Barat. Sebelum maghrib kami harus kembali ke penginapan di kota Foman. Tak terbayangkan, kalau turun gunung saat gelap nanti.


Menjelang sore, kami kembali mengitari desa. Berjalan melewati rumah-rumah sederhana dengan jendela klasik dan balkon-balkon mungil adalah kenangan yang sulit kulupakan. Sebagian besar rumah-rumah di Masouleh mengambil inspirasi dari alam. Jendela, tiang-tiang dan reng menggunakan kayu. Dinding-dindingnya dilapisi tanah liat dengan warna kuning terang. Pemilihan warna ini, agar rumah-rumah tetap terlihat saat kabut datang menyelimuti Masouleh. Dan aneka bunga di jambangan mungil, seakan menyiratkan bahwa Masouleh sendiri merupakan bagian dari alam.

Saat sedang memotret rumah-rumah Masouleh dari berbagai sudut, seorang perempuan penduduk desa melambaikan tangan ke arah kami. Kubalas lambaian itu sambil melangkah mendekatinya. Kamipun bertukar sapa. Mansureh, nama perempuan tadi, mengajak singgah di rumahnya yang ternyata digunakan juga sebagai penyewaan baju-baju tradisonal. Sambil memilah baju-baju, kusempatkan untuk berbincang dengannya.

“Anda asli Masouleh?” Tanyaku
“Iya, nenek kakek saya berasal dari sini ”
“Gimana asal mula masyarakat menempati Masouleh?”
“Kalau menurut cerita orang-orang dulu, mereka mulai berdatangan ke desa ini sejak ditemukan makam Imam Zadeh,” tutur Mansureh.

Di sekitar desa ini memang terdapat beberapa makam Imam Zadeh, selain masjid jami besar berkubah hijau. Masyarakat Iran memang memiliki ikatan emosional tersendiri dengan Imam Zadeh, sebutan untuk saudara para Imam. Rupanya, kemolekan Masouleh juga tidak lepas dari aura spiritualitas. Cerita ini jarang terungkap dalam buku-buku. Catatan yang sering kutemukan, sebenarnya Masouleh lama terletak 6 km dari tempat ini dan telah ditinggali sejak abad ke 10 M. Masouleh Hari ini, dihuni sekitar 800 warga dari berbagai suku seperti Taleshi, Turki dan Gilaki.


“Mari duduk dulu !” Ajak Mansureh selepas kami berfoto
“Terima kasih, tapi hari sudah hampir gelap. Bolehkah saya hanya melihat-lihat bagian dalam rumah?” Pintaku halus

Rumah Mansureh memang lebih kecil dan sederhana. Namun, kulihat ada tangga-tangga yang menghubungkan ke lantai dua. Diantara yang khas di Masouleh adalah “Soumeh” ruang dalam yang biasanya digunakan saat musim dingin. Karena di sini, gas belum bisa dialirkan melalui pipa-pipa seperti di tempat Iran lainnya, mereka masih menggunakan tabung gas.

Sebelum berpamit, Mansureh sempat menunjukkan foto kakak lelakinya yang ternyata bekerja di kedai teh. “Foto ini diambil oleh turis asal Perancis dan dia langsung mengirimkannya dari sana,” ujarnya dengan senyum merekah.

Masouleh, tempat yang selalu dirindukan setiap orang dengan beragam daya tariknya. Bagi para pecinta alam dan pendaki gunung, Masouleh menyediakan aliran sungai yang jernih, air terjun dan puncak Qand Kalleh yang indah. Bagi para peneliti sosial, Masouleh menghadirkan pesona interaksi desa yang unik dan sejarah yang misterius. Jendela, balkon dan bangunan klasik Masouleh sendiri menjadi ‘ruang inspirasi’ bagi puluhan fotografer. Dan untuk Musafir sepertiku, Masouleh telah menghadiahkan ketenangan, udara segar juga keramahan. Yang terpenting, kepada kita semua, Masouleh seolah menitipkan pesan bagaimana menjalin harmonisasi antara manusia, alam dan Tuhan.(Afifah Ahmad/LiputanIslam.com/izzamedia)

Posting Komentar Blogger

 
Top