iklan

0
Sejak 1960-an, Koruptor Sudah Dituntut Hukuman Mati
Ilustrasi korupsi.
IZZAMEDIA.com - Ketika saat ini banyak orang meneriakkan agar koruptor dihukum mati, sebenarnya sejak 1960-an koruptor di Indonesia sudah dituntut hukuman mati. Bahkan, pada era 1960-an sudah ada desakan agar pemerintah mengesahkan Undang-Undang Antikorupsi serta desakan agar pemerintah menyita kekayaan koruptor.

Harian Kompas, Sabtu, 25 September 1965, misalnya, memberitakan seorang perwira TNI yang menjabat manajer perusahaan negara yang dituntut hukuman mati karena korupsi.

Kapten Iskandar, mantan manajer perusahaan negara Triangle Corporation, dituntut hukuman mati dan diwajibkan membayar semua biaya perkara oleh Jaksa Mayor Mochtar Harahap dalam tuntutannya dalam sidang Pengadilan Militer VI Siliwangi di Bandung.

Menurut jaksa, Iskandar dituduh menyalahgunakan kedudukan dan jabatan, melakukan penjualan kopra dan minyak kelapa dengan harga lebih dari semestinya, serta memperkaya pabrik-pabrik minyak di Bandung, Cirebon, dan Rangkasbitung. Akibat perbuatannya, negara dan rakyat dirugikan antara 1960 dan 1961 sebesar Rp 6 miliar.

Jaksa menuntut Iskandar hukuman mati. Negara meminta semua harta kekayaan terdakwa yang diperoleh dengan cara korupsi disita.

Selain melakukan korupsi kopra senilai Rp 6 miliar (harga tahun 1961), terdakwa juga dituntut menggelaplan tekstil dan benang tenun senilai Rp 1 miliar. Sidang di pengadilan militer itu dipimpin hakim ketua Overste Eddy Murthy.

Iskandar akhirnya divonis tujuh tahun penjara oleh Mahkamah Militer Tinggi Jakarta dalam sidang tertutup 21 Oktober 1967 seperti diberitakan Kompas, Selasa, 28 November 1967.

Ditangkap di Hotel Homann

Kasus korupsi dilakukan Soediamto Dimjati, Direktur Trayan Art Association dan Nirmala Ltd Surabaya, yang dituduh melakukan manipulasi dan penggelapan uang negara hampir Rp 1 miliar dari Proyek Conefo dan Lembaga Atom.

Menurut berita Kompas, Kamis, 14 Oktober 1965, polisi yang pada masa itu disebut Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI) Komdak VIII Jawa Barat menangkap Soediamto (yang pada 1965 berusia 35 tahun) ketika dia sedang berfoya-foya di sebuah kamar di Hotel Homann, Bandung.

UU Antikorupsi

Terkait maraknya kasus-kasus korupsi, Kompas, Sabtu, 26 Maret 1966, menurunkan berita tentang desakan agar pemerintah mengesahkan Undang-Undang Antikorupsi yang sejak lama terkatung-katung. Semua pejabat tinggi dan aparat pemerintah, termasuk 15 menteri yang terlibat korupsi, didesak untuk dijerat undang-undang tersebut.

Pemerintah juga didesak untuk melarang warga negara asing berdagang atau menjadi perantara perdagangan sembilan bahan pokok sandang-pangan rakyat. Ini dianggap sangat mendesak untuk mencegah timbulnya spekulasi, manipulasi, subversi, dan sabotase.

Sita kekayaan yang tidak sah

Desakan agar pemerintah menyita semua kekayaan perorangan atau badan-badan hukum yang diperoleh secara tidak sah melalui manipulasi atau penyalahgunaan kekuasaan negara disuarakan pucuk pimpinan GP Ansor. Pemerintah diminta menyeret mereka ke pengadilan subversi tanpa memandang pangkat dan golongan bila mereka bersalah.

Pernyataan GP Ansor yang ditandatangani Jahja Ubaid dan HA Chalid Mawardi seperti diberitakan Kompas, Rabu, 28 September 1966, memberi penghargaan kepada Jaksa Agung Mayjen Sugih Arto yang mengumumkan nama-nama perusahaan dan mereka yang terlibat dalam Deferred Payment Chusus (DPC). Mereka dinilai telah mengacaukan perekonomian selama rezim 100 menteri yang korup berkuasa.

"Sekarang waktu yang tepat untuk membersihkan negara kota dari kaum koruptor dan manipulator, yang selama ini menjadi parasit yang mengacaukan perekonomian," demikian isi berita Kompas tersebut.

Meskipun sejak 1960-an persoalan korupsi sudah dikupas tuntas, termasuk tuntutan hukuman mati terhadap koruptor sudah dilakukan, dalam eksekusinya koruptor "hanya" dihukum tujuh tahun, jauh dari tuntutan jaksa.

Korupsi yang merugikan uang negara sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu di negeri ini. Imbauan, desakan agar pemerintah menyita kekayaan para koruptor pun sudah digaungkan sejak 1960-an. Mengapa pelakunya tak juga jera dan korupsi terus terjadi? (Kompas.com)

Posting Komentar Blogger

 
Top