izzamedia.com -Beberapa
hari lalu, dunia dikejutkan oleh tertangkapnya seorang remaja muslim di
Texas, Amerika Serikat yang bernama Ahmed Mohammed. Dia merupakan
korban salah tangkap akibat jam rakitannya diduga sebagai bom. Padahal,
pembuatan jam tangan tersebut dimaksudkan untuk proyek sains di
sekolahnya. Herannya, penangkapan tersebut berasal dari laporan guru
Ahmed sendiri.
Apa
yang terjadi pada Ahmed merupakan gambaran kecil dari realitas
masyarakat Amerika masa kini. Tentunya peristiwa ini tidak berdiri
sendiri, tapi memiliki rangkaian sebab awal yang mendasari dan
membentuknya. Dengan kata lain, peristiwa tersebut merupakan rangkaian
sebab dari peristiwa-peristiwa sebelumnya sebagai akumulasi dari proses
sejarah yang kelam dan traumatik.
Salah
satu peristiwa besar dalam sejarah Amerika adalah runtuh gedung WTC dan
Pentagon, akibat hantaman pesawat tak berawak yang mengakibatkan ribuan
masyarakat Amerika meninggal. Sejak peristiwa serangan 11 September
2001 itu, Amerika Serikat mengalami perubahan besar-besaran, terutama
dalam aspek politik maupun keamanan. Kelompok Islam dianggap paling
bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan tersebut. Kelompok Islam
dicap sebagai kelompok teroris yang mesti diberangus. Peristiwa tersebut
menjadi tragedi besar yang menandai awal pengidentifikasian terhadap
Islam sebagai ancaman keamanan bagi negara Amerika Serikat. Di sisi
lain, hal itu telah menyisakan trauma mendalam bagi masyarakat Amerika
Serikat.
Setelah
peristiwa itu, kewaspadaan terhadap kelompok Islam tak hanya terjadi di
Amerika Serikat, tetapi juga merembes ke negara-negara lain, khususnya
Eropa yang diam-diam telah menaruh curiga dan antipati kepada
kelompok-kelompok Islam. Efek tersebut bisa ditelusuri dari beberapa
respon dan tindakan negara-negara barat terhadap kelompok Islam terkait
terorisme, termasuk respon mereka dalam menyikapi pengungsi Suriah.
Respon berlebih terhadap kelompok Islam telah melahirkan Islamofobia
yang cukup serius pada negara-negara Barat. Tentunya, kondisi ini tidak
lepas dari sokongan berbagai kepentingan politis, ekonomi, dan ideologi
yang difasilitasi melalui hadirnya teknologi pengetahuan yang semakin
canggih untuk menyalahkan Islam. Melalui media sosial, kelompok Islam
telah dibentuk sebagai musuh bersama (common enemy). Media secara langsung telah berkontribusi besar dalam membentuk frame of war
(peta permusuhan) antara Islam dan non-Islam yang mengakar kuat pada
bangunan kesadaran individu, kelompok, maupun institusi di negara-
negara barat, khsusunya Amerika Serikat.
Media telah menjadi instrumen pembentuk stigma negatif terhadap kelompok Islam. Melalui proses framing,
media telah merekonstruksi realitas masyarakat dan berhasil menciptakan
kelompok Islam sebagai musuh bersama, sekaligus pada waktu bersamaan
membentuk kesadaran masyarakat Amerika Serikat. Pembacaan yang tidak
kritis terhadap gambar dan audio visual yang terpotong-potong yang
disajikan oleh media menjadi sebab semakin kuatnya ketakutan terhadap
kelompok Islam. Ditambah lagi berbagai argumen politik, ekonomi,
keamanan, agama menjadi “bumbu penyedap” yang ikut serta dalam
mempenetrasi kelompok Islam.
Meskipun
peristiwa tersebut telah berlangsung lebih dari satu dekade yang lalu,
tetapi stigma negatif terhadap kelompok Islam masih jelas mempengaruhi
sikap dan pikiran masyarakat Amerika hingga saat ini. Islam telah
menjadi momok menakutkan yang seolah selalu mengawasi, meneror, dan
mengintimidasi secara halus dalam pola-pola relasi yang terbangun di
antara masyarakat Islam dan non-Islam.
Peristiwa
Ahmed Mohammed hanya menjadi salah satu cerita yang menunjukkan bahwa
sentimen agama dan trauma masa lalu masih terpelihara dan membanyangi
kehidupan masyarakat Amerika Serikat. Ahmed hanya merupakan korban dari
kondisi masyarakat Amerika Serikat yang masih mengalami trauma atas
tragedi di masa lalu yang terus dikonstruksi melalui proses framing.
Trauma yang dialami masyarakat Amerika Serikat terhadap kelompok Islam dalam psikologis disebut Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) biasanya diklasifikasikan sebagai suatu anxiety
yang terkait dengan gangguan disosiatif. Gangguan ini terjadi karena
merasakan kembali pengalaman intens mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan peristiwa traumatis yang menghasilkan rasa takut,
ketidakberdayaan atau mengerikan. Merasakan kembali pengalaman traumatik
ditandai dengan kenangan berulang, mimpi, kilas balik, adanya reaksi
yang kuat baik terhadap fisik maupun fisiologis dalam reaksi yang saling
berhubungan.
Dalam
kasus Ahmed sebagai pemuda beragama Islam, gangguan ini bekerja dengan
menjadikan Ahmed sebagai pemantik yang merelasikannya dengan peristiwa 9
September dan terorisme yang mengancam keamanan masyarakat Amerika
Serikat. Akibatnya, segala hal yang terkait dengan Islam menjadi isu
sensitif dan diwaspadai, munculnya intoleransi, diskriminasi, sekaligus
secara tidak langsung menunjukkan rapuhnya fondasi demokrasi negara
tersebut.
sumber: islaminesia.com
Posting Komentar Blogger Facebook