iklan

0
Politik, pada hakikatnya adalah tentang membagi kekuasaan. Pembagian itu seyogyanya dilakukan secara elegan, sehingga semua pihak setidaknya merasa diberi peran proporsional dan tidak dibiarkan kehilangan muka.

Tetapi tampaknya tidak demikian dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Sukarnoputri. Tampaknya, Mega lebih melihat politik seperti apa yang disampaikan seorang jendral Prusia abad 18 yang terkenal sebagai ahli perang dan pemikir strategis, Carl von Clausewitz.

Clausewitz, yang meyakini bahwa perang hanyalah kelanjutan dari politik. Dengan kata lain, politik hanyalah prakondisi atau penetapan langkah sebelum perang.

Pendapat yang bila dihubungkan dengan doktrin perang 'si vis pacem parra bellum' —jika menghendaki perdamaian, bersiaplah perang, membuat situasi batiniah seorang politisi terisi oleh perasaan terancam, tidak aman dan penuh curiga.

Karena itulah, barangkali, Megawati sulit untuk membuka komunikasi politik, bahkan manakala komunikasi itu sudah tak lagi bersifat mubah, melainkan wajib hukumnya.

Menjadi wajib, karena komunikasi itu menjadi conditio sine qua non atau syarat mutlak sebagai langkah awal didapatnya dukungan.

Dalam kisruh politik antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) saat ini, katakanlah pihak yang perlu dimintai dukungan adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat.

Namun alih-alih segera membuka komunikasi dengan SBY, yang memungkinkan pihaknya mendapatkan dukungan Fraksi Partai Demokrat yang resminya tidak bergabung dengan KMP, Mega malah membiarkan angin politik berembus tak tentu.

Pada pembahasan pimpinan DPR lalu, saat posisi KIH berada di tubir jurang kekalahan setelah tiga kali dipecundangi KMP dalam kasus pengesahan Undang-undang MD3, Tata Tertib DPR, dan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah, sebenarnya Megawati sudah layak beranjak dari sikap 'duduk manis' dan harus legowo untuk mendatangi junior-juniornya, para elit KMP.

Atau bila tak hendak berhadapan langsung dengan ‘lawan’, Mega semestinya menjalin kontak dengan SBY—yang kata-katanya sangat bertuah mengarahkan haluan politik Fraksi Demokrat, pun mungkin bisa menjadi peluang manis.

Bukan tak mungkin, karena SBY sesungguhnya adalah tokoh yang sangat demokratis dan terbuka terhadap kerjasama politik untuk kebaikan bangsa.

Namun kita tahu apa yang kemudian terjadi. Megawati tetap diam di singgasananya. Sekian banyak saran, harapan dan keinginan dilontarkan kepadanya oleh para petinggi Koalisi Indonesia Hebat. Semua tak membuat Mega tergerak berangkat.

Megawati seolah menjadi true believer yang salah menerjemahkan amanat Bung Karno yang beliau katakan dalam pidato pada peringatan Maulid Nabi Muhammad di tahun 1963. “Kita tidak akan mundur setapak, tidak akan surut sejari!”

Megawati salah menempatkan diri, karena seolah berharap SBY-lah yang datang kepadanya. Akhirnya kita saksikan, untuk keempat kalinya--dengan kekalahan pada pemilihan pemimpin DPR itu, KIH terpinggirkan. Tak ada satu pun kursi pimpinan DPR disisakan buat mereka. Semua direbut KMP, hingga Puan Ketua Fraksi PDIP DPR RI, Puan Maharani secara terbuka menunjukkan sikap kecewanya.

“Kursi pemimpin DPR dirampas dari kami,” kata Puan, di hadapan sekian banyak awak media massa, pekan lalu.

Pakar komunikasi politik, Heri Budianto, saat itu pun sudah menegaskan kekecewaan. Karena dalam pandangan dia, KIH tidak selayaknya kalah begitu rupa.

"Jika Bu Mega dan Pak SBY sudah dipertemukan jauh-jauh hari, PDI-P dan koalisi tidak akan mengalami kegagalan bertubi-tubi seperti ini," ujar Heri, saat itu.

Benar, saat itu presiden terpilih Joko Widodo langsung melakukan manuver dengan bertemu dengan SBY untuk mengajak Demokrat berkoalisi.

Persoalannya, bukan hanya SBY, Demokrat, partai-partai di DPR, KMP, bahkan publik pun tahu bahwa suara KIH masih tergantung apa suara Mega.

Alhasil, gayung presiden terpilih Joko pun tak bersambut. Dini hari tadi kita kembali menyaksikan ‘kemenangan’ KMP atas KIH.

Di satu sisi banyak yang menilai hal itu baik untuk perpolitikan negeri, dengan alasan yang terjadi akan membangun sistem check and balance dalam kehidupan politik ke depan.

Pemerintah yang dikuasai KIH, diharapkan berdinamika dengan DPR dan MPR yang didominasi KMP, sehingga terjadi proses tesis-sintesis yang lebih dinamis. Dialektika inilah yang akhirnya diharapkan bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik.

Tetapi tentu saja, tak semua pihak bisa menerima fakta tersebut. Kenyataan yang terjadi di MPR dini hari tadi tak urung membuat banyak simpatisan PDI P meradang.

"Baru babak awal membangun pertahanan, Megawati sudah kalah menempatkan satu pun kader terbaik dalam parlemen, baik DPR maupun MPR," ujar Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus Rabu, 8 Oktober 2014 pagi.

Petrus mengaku, jauh-jauh hari sudah meminta Megawati ‘turun gunung’. Itu karena siapa pun sadar, Megawati memegang peranan penting dalam Koalisi Indonesia Hebat. Sayang, semua luput dilakukan.

"Megawati tidak pernah mendengar aspirasi publik sih," ujar Petrus.

Apapun alasannya, KIH sudah kalah lagi. Politik rigid, atos, keras kepala Megawati tak tepat untuk kondisi perpolitikan saat ini. (fs) *piyungan online

Posting Komentar Blogger

 
Top