iklan

0
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya kembali memancing kontroversi.

Pada kegiatan Orientasi Akademik dan Cinta Almamater (OSCAAR) tahun 2014 ini, Senat Mahasiswa (SEMA) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat mengangkat grand tema “Tuhan Membusuk”

Tak pelak tema tersebut memancing reaksi penolakan dari kalangan dekanat dan rektorat, kendati banyak pula dari sejumlah dosen yang mendukung. Buntutnya, seperti diberitakan santrinews.com banner bertulisan tema tersebut diturunkan. Pihak dekanat beralasan, tema itu dikhawatirkan akan dikonsumsi masyarakat awam.

Gubernur Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Rahmad Sholehuddin menjelaskan, tema tersebut sejatinya berangkat dari sebuah realitas keberagamaan masyarakat Indonesia yang belakangan kian memperihatinkan.

“Sekarang tidak sedikit orang atau kelompok yang mengatasnamakan Tuhan dengan mudah membunuh orang lain,” kata Rahmad, Sabtu (30/8).

Demi (membela) Tuhan, mereka rela mempertaruhkan nyawanya. Perilaku ini lazim dilakoni oleh kelompok yang mengklaim paling shaleh. Kelompok yang mengklaim paling islami. Akibatnya, kelompok yang berbeda dengan mereka dengan mudah dituduh ‘kafir’ yang darahnya halal.

Keperihatinan yang lain adalah fenomena keberagamaan masyarakat modern yang mulai menempatkan spiritualitas sebagai alternatif pemecahan berbagai problem kehidupan.

Ironisnya, semangat keberagamaan masyarakat modern bertitik tolak pada pertimbangan matematis-pragmatis. Untung-rugi. Bila tidak lagi mampu memberi mamfaat secara materi, maka dengan mudah ‘agama’ dicampakkan begitu saja.

“Agama (Tuhan) tidak lebih hanya dijadikan sebagai pemuas atas kegelisahan yang menimpanya. Tidak salah kalau sekarang agama dikatakan berada di tengah bencana,” tegas mahasiswa jurusan Perbandingan Agama ini.

Rahmad lalu mencontohkan, ketika ditimpa musibah maka dengan reflek masyarakat ingat Tuhan. Keadilan Tuhan pun digugat. Di sisi lain, peran Tuhan kerap berada dalam simbol ketidakberdayaan.

“Lagi-lagi Tuhan tetap berada di pojok kesalahan. Itulah salah satu alasan mengapa kami mengangkat tema itu,” tandas alumnus Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong Probolonggo ini.

Dia menambahkan, yang hendak dikritik bukan eksistensi Tuhan, melainkan nilai-nilai ketuhanan yang sudah mulai mengalami ‘pembusukan’ dalam diri masyarakat beragama.

“Dengan tema ini, kami berharap mahasiswa baru bisa menerapkan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari,” pungkasnya. [Santrinews/izzamedia]

Posting Komentar Blogger

 
Top